Jumat, 06 Maret 2015

wanita berhati kekar

Wanita itu indah ...
Dulunya ia seorang gadis berwajah kharismatik
Tahi lalat yang hitam legam menambah cantik parasnya
Tegar matanya tanda bahwa semua masalah hidup
Sudah ia enyam habis tak tersisa...

Jemarinya tak lentik lagi tanda bahwa
senar kepedihan sudah merusaknya
Tubuhnya yang tak segemulai dahulu tanda bahwa
sudah dipasung kekakuan hidup serba pahit

Aku mencintainya ...
Begitu pula ia pada ayah dan aku
Beliau sering mengintip masa mudanya

Beliau tak lagi jenuh
Matanya lekat menyorot tajam ke arah pintu
Memandang dua orang anak kecil berparas elok
Bermain indah sesama. Saling melengkapi...
Saling membuka kekakuan bibir yang bergaris kaku
tak mau menunjukkan indah bulannya...

Ia merasa kembali..
Kembali ke 70 tahun yang lalu
Bibirnya selalu merebak.. indah dilihat
Diwarnai kerutan wajah yang tegas...

Aku selalu terkesan
Dengan apa yang membuatnya begitu indah
Sejuk jiwa menyeringai cepat
Giginya tak patah... tak satupun...
menandakan semangat tersenyum selamanya...

Aku tahu... sangat tahu...
Ia hanya bisa merasakan suara mereka
Tapi tak wujud sempurna
Matanya dikelabui putihnya pengorbanan

"Assalamu'alaykum, nek " sapaku.
"Wa'alaykumussalam... Ise do ho ?" tanyanya cepat sekali.
Aku terhunyut... Walau dalam jarak beberapa meter saja
tetap ia tak bisa tahu wajah seperti apa yang ada di hadapnya

Begitu aku melepas sepatuku...
Aku menghampirinya...
Tak kurespon tanyanya itu
Keinginan tahunya itu dikalahkan
dikalahkan oleh rasa rinduku yang menggelegar ini

"Aku merindukanmu nek" rintihku dalam hati.
Kupeluk tubuhnya yang kurus namun hangat
Beberapa tahun ini tak lagi kurasakan kehangatan ini

Rindunya aku... rindu sekali...
Apalagi saat mendengar ia sakit-sakitan
"Malungun au tu ho pung, mulak maho "
kalimat perintah penuh sayatan itu masih saja mengiang bebas
Tak bisa kulaksanakan perintahnya itu
Karena saat itu aku masih berjihad di pulau seberang
Kota hujan

Ia selalu menanyakan kapan aku pulang
Selalu... Setiap saat kami saling melepas rindu lewat suara saja...
Semu sekali

Kucium tulang pipinya
Tak kutahu sekilas ada tetesan mengalir di pipiku
kupeluk ia lagi
Pipi segarnya sudah habis
Palung kehidupan sudah menelannya

Ia masih saja heran
"Ise do ho ?" tanyanya kembali
Aku menyerah akhirnya
Tak rela kubiarkan dia terus bertanya untuk ketiga kalinya
"Ini awak nek" jawabku terisak
"Oih dah pung... na lolot maho mulak da" katanya
sambil merampas wajahku lalu menciuminya

Dia hafal... sangat hafal sekali...
Model jawaban yang baru saja kusampaikan padanya
Memori rindunya memasung ketiga kata itu
seakan tak ingin melepas pasungannya
Karena itulah yang ia punya dari kenanganku

Habis wajahku ia hantam dengan bibir rindunya
Ia pun menangis terisak
Dalam sekali aku mendengarnya..

------- To Be continued ---